Cerita Tentang Deden : Dari Buruh Sawit Menjadi Petani Organik Di Kampung Cibiru Sukabumi

Tidak pernah terpikir sedikit pun menjadi petani organik bersama pemuda Kampung Cibiru Sukabumi. Meski orang tua saya petani, saya tidak memiliki pengetahuan tentang pengolahan lahan pertanian. Hasrat saya pun lebih besar untuk merantau dan berniat kembali setelah berumur diatas 50 tahun. Namun, jalan hidup berkata lain, saya pulang ke tanah kelahiran pada usia 33 tahun. Lalu, memilih menjadi petani muda di kampung. Sumber penghidupan yang awalnya saya pandang sebelah mata, malah mampu menghidupi keluarga kecil saya.
Saya meninggalkan Kampung Cibiru, Cicantayan, Sukabumi sejak tahun 2003 dan mendapat pekerjaan sebagai karyawan di toko komputer di Depok. Kesempatan emas itu saya ambil dan merasa senang bisa merantau. Setelah tiga tahun menjadi karyawan, saya tertarik bekerja menjadi buruh di usaha sawit di Jambi dan Kalimantan. Setelah merasa bosan bekerja di kampung orang, saya pun memilih berhenti kerja dan kembali ke kampung halaman.
Saya tidak mau bekerja di bawah perintah orang lain. Seperti kata pepatah dari orang tua saya, lebih baik sakit sauetik (sedikit) di lembur (kampung) sorangan (sendiri), daripada kerja di ketiak orang (jadi anak buah)”. Sekarang saya baru sadar, apa maknanya.
Kembali Pulang Kampung dan Memilih Menjadi Petani Organik di Sukabumi

Pilihan pulan kampung tidak mudah, karena tidak tahu harus bekerja apa dan hidup mengandalkan sisa tabungan dari tanah rantau. Namun, seiring waktu, kebutuhan hidup keluarga semakin mendesak, apalagi memiliki anak yang harus dipenuhi kebutuhan hidupnya. Saya pun memutar otak untuk mencoba bertani namun tidak memiliki lahan untuk digarap. Sementara sisa lahan milik orang tua sedang diolah oleh saudara.
Saya pun memiliki ide untuk bekerjasama dengan yayasan sistem bagi hasil panen. Syukurnya, Kepala yayasan setuju dengan ide tersebut. Berbekal pengetahuan pertanian ketika dulu membantu orangtua dan kerabat di sawah, saya mengeluarkan modal Rp 700.000. Biaya tersebut digunakan untuk biaya penggemburan tanah, beli pupuk, dan bibit. Tanaman yang ditanam adalah mentimun.
Dari perhitungan saya, jika sering memberi pupuk kimia, maka akan menghasilkan panen yang lebih menguntungkan. Namun apa daya, semakin banyak pupuk maka semakin tinggi modal. Sementara harga di tengkulak tidak pasti, Tidak ada untung malah buntung. Hingga pertengahan tahun 2019, seorang teman mengajak untuk mengikuti program pertanian organik bagi orang muda. Saya tentu saja sangat tertarik apalagi kalau dapat meningkatkan hasil pertanian.
Saya pun bergabung menjadi salah satu anggota kelompok petani muda yang kami sebut dengan Ketan pedo (kelompok petani muda organik). Petani muda merupakan program “Ayo Jadi Petani Muda”. Tidak hanya belajar teknik pertanian, namun juga diajak untuk menghargai dan menaruh hormat pada profesi petani.
Kami diajarkan cara bekerjasama secara berkelompok, mengelola lahan dan penjualan. Semula merasa kesulitan bagi saya, karena harus mengolah lahan secara kelompok. Tetapi, seiring waktu pola pertanian yang diajarkan menunjukkan perkembangan dan hasil panen bisa dijual hingga ke luar desa.
Merasakan Gagal Panen, Melakukan Penjualan Tanpa Tengkulak dan Menikmati Hasilnya
Cerita pengalaman yang paling berkesan selama melakukan pertanian organik adalah membuktikan lahan bisa menjadi subur. Lahan mati milik perusahaan di Bukit Pasir Mangu (500 meter dari pusat kampung), bisa ditanami sayuran. Meski sempat mengalami ujicoba penanaman 1 dan 2 dan hasil panennya gagal, pada panen ke-3 tanaman tumbuh lebih baik.
Bahkan, hasil panen bisa dijual ke warga kampung dan masyarakat di desa lain. Petani tua penasaran dengan apa yang kami lakukan, kok bisa lahan nganggur itu diolah oleh orang muda yang minim pengalaman dalam mengolah lahan pertanian.
Dari keberhasilan pertanian organik di lahan kelompok, saya semakin yakin dengan manfaat bertani dengan cara organik. Saat ini, penerapan organik sudah saya lakukan di lahan milik yayasan dengan memberi kompos sesuai informasi dari kegiatan kelompok. Sejauh ini, saya sudah menyewa lahan 1000 m2 bersama dengan saudara dan keponakan saya. Selain itu, saya punya impian dapat membuka lahan sayuran baru di Bukit Pasir Mangu dekat lahan kelompok.
Dari pengalaman yang saya lakukan memang belum ada perubahan dari segi pendapatan. namun tidak mengeluarkan modal pupuk lagi. Modal dikeluarkan hanya untuk membeli bibit di awal. Tanaman terong misalnya, saya hanya mengunakan 1 kali pupuk organik, kemudian semprot dengan POC. Panen telah berhasil sebanyak 9 kali. Berbeda kalau dengan pupuk kimia, saya harus mengeluarkan uang untuk membelinya.
Pengetahuan pertanian organik membuat saya semakin yakin terus menjadi petani. Kami petani muda juga diingatkan bahwa petani yang menopang pangan di Indonesia. Semoga kelompok Ketan Pedo dari Kampung Cibiru Cicantayan dapat menjadi contoh bahwa orang muda di Sukabumi mampu mengolah lahan pertanian. Bahkan dilakukan dengan sistem pertanian organik.
Ditulis oleh Fadhli Ilhami (Peneliti Akatiga)
Diedit oleh Pibsa (Pemuda Petani Organik Ketan Pedo, Kampung Cibiru Sukabumi).