Korupsi Sang Menteri Atas Nama Kesejahteraan Rakyat dan Nelayan

Korupsi Sang Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo diungkap setelah ditangkap. Ada pejabat Negara yang menyatakan kebijakan itu atas nama kesejahteraan rakyat dan nelayan. Dibukanya keran ekspor benih lobster atau benur, pun dengan alasan yang sama. Alih-alih menunjukkan langkah meningkatkan kondisi ekonomi rakyat, faktanya sang menteri ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK pun menetapkan edhy Prabowo sebagai tersangka dengan dugaan Tindak Pidana Korupsi berupa penerimaan hadiah oleh penyelenggara Negara. Korupsi tersebut terkait perizinan usaha perikanan atau komoditas sejenis lainnya. Ada 7 orang tersangka yang ditetapkan bersama sang menteri.
Tidak tanggung-tanggung sang menteri diduga mendapat Rp3,4 miliar pengusaha ekpor benur. Apakah duit itu atas nama nelayan juga? Tidak terbayangkan pejabat Negara yang tak merasakan nasib nelayan itu mengaku-ngaku atas nama mereka.
Sudahlah tidak pernah mendapat uang milyaran rupiah, kok bisa-bisanya itu disebut atas nama rakyat. Sementara itu, Sekjen Koalisi rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati dalam acara Mata Najwa sudah mengingatkan kepada Kementerian Keluatan Perikanan (KKP) tentang mekanisme penetapan eksportir. Tidak semua partisipasi publik diambil.
Hal yang menjadi pertanyaan kenapa KKP lebih mementingkan ekspor dibandingkan pemberdayaan nelayan. Ada pertanyaan besar penentuan perusahaan eksportir, karena salah syarat pernah melakukan budidaya lobster secara berkelanjutan.
Pada kenyataannya, tidak terjadi seperti itu. Selain itu, tidak jelas berapa kuota ekpor benih yang dilakukan dalam satu tahun. Setelah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan, perusahaan malah menyuruh menangkap benih lobster, padahal sebelumnya tidak menangkap komoditas yang sama.
Korupsi Sang Menteri Karena Ekspor Benih Lobster, Kesejahteraan Nelayan Mana yang Mereka Wakili
Sejak Menteri Kelautan dan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah Indonesia pada 4 Mei 2020. Sebulan kemudian, perusahaan yang telah mendapatkan izin bisa melakukan ekspor benih lobster.
Permen dari KKP tersebut memberi kewajiban budidaya bagi perusahaan ekspor benih lobster dan itulah kuncinya. Kalau dibayangkan bagaimana mungkin pembudidayaan bisa berjalan, sementara ekspor bisa dilakukan sebulan setelah permen dikeluarkan. Rasa-rasanya apa mungkin perusahaan melakukan pembesaran lobster.
Setidaknya, setiap perusahaan wajib melakukan RESTOKING atau PELEPAS LIARAN sebanyak 2% dari yang di Budidaya. Jadi, hanya perusahaan yang dapat melakukannya, bukan nelayan. Tetapi tetap saja menyatakan ekspor dilakukan demi kesejahteraan rakyat atau nelayan.
Bagaimana lagi, peran rakyat tampaknya hanya sebagai atas nama saja. Tidak menikmati kesejahteraan apalagi mampu menjadi kaya raya seperti pemilik perusahaan ekspor. Apesnya lagi pejabat tertinggi yang mengaku-ngaku atas nama nelayan, dia pula yang ditangkap KPK. Laut kita begitu luas, nelayan kita banyak, dan sayangnya kekayaannya di dalamnya bukan milik kita semua.