Dampak Pernikahan Usia Muda: Bukan Soal Cinta Alvin Faiz dan Larissa Chou

Dampak Pernikahan Usia Muda: Bukan Soal Cinta  Alvin Faiz dan Larissa Chou

Dampak pernikahan usia muda sebaiknya dimengerti bukan hanya oleh orang tua, tetapi dari anak-anak yang dinikahkan. Ada begitu banyak risiko yang ditanggung jika pernikahan terlalu dini dilakukan, bukan semata-mata dari kesehatan, namun juga dari psikologis dan kesehatan anak-anak yang menikah.

Tidak dipungkiri hasrat untuk memiliki pasangan muncul sejak remaja, namun bukan berarti anak-anak harus dinikahkan. Persoalannya pernikahan itu bukan soal cinta yang dilarang, bukan haram atau halal, melainkan karena waktunya yang belum tepat baik secara mental dan kesehatan.

Tahukah kamu, data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 BPS mencapai 1,2 juta kejadian. Angka yang tergolong sangat tinggi.

Proporsi perempuan umur 20-24 tahun memiliki status kawin sebelum usia 18 tahun adalah 11,21%. 1 dari 9 perempuan umur 20-24 tahun telah menikah pada masa anak-anak. Sedangkan laki-laki berumur 20-24 tahun yang menikah saat anak-anak adalah 1 dari 100 laki-laki. Bisa disimpulkan perempuan cenderung lebih banyak menikah pada usia muda.

Kasus penikahan usia muda terjadi biasanya karena faktor tradisi, budaya dan ekonomi. Adapula alasan klise yang sering dilontarkan, “Dari pada terjadi hal yang tak diinginkan, lebih baik dinikahkan saja.” Padahal tidak semuah itu, karena penikahan itu terkait masalah kesiapan secara mental dan memiliki dampak pula terhadap kesehatan pasangan yang menikah.

Begitu Banyak Dampak Pernikahan Usia Muda yang Perlu Dipahami

Orang tua yang menikahkan anak-anaknya pada usia dini yaitu dibawah batas usia pernikahan 19 tahun tidak memahami risiko yang akan terjadi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjelaskan bahwa Praktik perkawinan anak adalah pelanggaran hak-hak anak yang memiliki dampak buruk bagi tumbuh kembang dan kehidupan pada masa depan.

Adapun risiko yang harus dihadapi anak putus sekolah antara lain:

  1. Naiknya risiko putus sekolah, penghasian rendah, kesehatan bagi anak perempuan, karena belum siap hamil dan melahirkan.
  2. Kesehatan reproduksi bisa terganggu, misalnya terjadi kanker serviks atau kanker leher rahim. Sehingga, anak penting sekali diajarkan kesehatan reproduksi dari sekolah.
  3. Mental yang tidak siap membangun rumah tangga dapat menimbulkan terjadinya kekerasan, pola asuh tak tepat, tidak mengelola keluarga dan mengasuh anak dengan baik. Akhirnya mengakibatkan terjadinya perceraian.
  4. Menggagalkan kelanjutan pendidikan anak-anak. Akhirnya tidak mampu meningkatkan kapasitas kemampuan diri di masa depan. Kemudian, kesulitan memperoleh pekerjaan dan menghadapi kesulitan himpitan ekonomi. Akhirnya muncullah keluarga miskin baru.

Risiko tersebut harus dihadapi oleh anak-anak yang harus menikah. Dampak negatif tersebut tersebut bisa dihindari jika diberikan pemahaman kalau dunia pernikahan tidak semudah yang dibayangkan. Oleh karena itu, peran penting keluarga menjadi penting untuk memahami kalau dunia anak-anak jangan sampai direnggut dan malah diminta untuk menikah pada usia dini.

Selain itu, perlu diketahui pula bahwa Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.  UU tersebut mengenai perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa usia minimum perkawinan adalah 19 tahun. Batas usia pernikahan tersbeut berlaku bagi anak laki-laki maupun perempuan.

Sayangnya, masih banyak pihak keluarga yang minta dispensasi usia pernikahan dengan berbagai alasan. Sehingg, masih banyak anak yang menikah di bawah batas usia 19 tahun. Sehingga, kembali lagi dibutuhkan edukasi kepada keluarga. Selain itu, dibutuhkan peran penting semua pihak untuk memberi pemahaman kalau pernikahan usia muda memiliki risiko yang tinggi.

Artikel menarik lainnya: Pacar Toxic Mengekang Kehidupan Pasangan, Kenali Tanda-Tandanya

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *