Membahas Pendidikan Pelosok Sukabumi Bersama Gerakan Sukabumi Mengajar yang Katanya Gawat Darurat

Membahas pendidikan pelosok Sukabumi sebenarnya sangat penting hingga menjadi perhatian dari Gerakan Sukabumi Mengajar (GSM). Persoalan tersebut menyeruak di ruang bincang yang digagas oleh Gerakan Sukabumi Mengajar di Sunda Coffee & Space yang beralamat di Jalan Cikole Dalam No. 38 Kota Sukabumi. “Kalau menurut saya gawat darurat, itu kenapa Gerakan Sukabumi Mengajar turut terlibat bergerak langsung melakukan kegiatan di pelosok Sukabumi,” kata Ikin Sodikin. Ikin Sodikin adalah salah seorang relawan dari (GSM).

Ikin menceritakan tentang kondisi pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) yang serba kekurangan. Dari fasilitas mengajar, akses jalan ke sekolah, hingga guru yang cuma ada satu orang. “Kondisi sekolah semakin miris lagi kalau dia sekolah swasta. Karena pengelolaannya secara swadaya masyarakat,” Kata Ipong dari Sabumi Volunteer. Dana swadaya dari masyarakat yang tergolong kaum miskin atau ekonomi ke bawah tentu tidak seberapa.

Dana yang dikumpulkan sangat terbatas dan untuk menggaji guru saja tidak cukup. Apalagi untuk memperbaiki fasilitas sekolah. Tidak akan cukup! Acara yang mengundang Aliansi BEM Sukabumi (Badan Eksekutif Mahasiswa Sukabumi) ini ingin mengajak anak-anak kampus mau terlibat dalam yang sudah dilakukan Gerakan Sukabumi Mengajar.

Membahas pendidikan pelosok Sukabumi Bersama Gerakan Sukabumi Mengajar Perlu Keterlibatan Mahasiswa Melakukannya

Dari beberapa kegiatan yang sudah dilakukan Gerakan Sukabumi Mengajar ternyata mahasiswa Sukabumi yang ikut andil itu sedikit sekali. Ngapain aja sih mahasiswa Sukabumi. Sibuk pacaran dan main Game ML ya? Mobile Legend maksudnya. Eh kan ada PUBG. Sayang sekali kalau manusia terdidik di Sukabumi waktunya cuma dihabiskan pacaran dan nge-game, bukan?

Nah, ngobrol santai di Sunda Coffee mencoba mencari kekuatan baru dari mahasiswa melalui Aliansi BEM Sukabumi. Diharapkan mahasiswa Sukabumi yang mau peduli pendidikan pelosok Sukabumi jauh lebih banyak jumlahnya. Masa sih cuma 3 orang doang saja yang ikut Kegiatan Gerakan Sukabumi Mengajar Batch III yang lalu. Ya kenyataannya memang begitu. Belum kepikiran kali ya sama gawat darurat dan persoalan pendidikan daerah pelosok Sukabumi.

Ikin ingin melalui BEM Se-Sukabumi, mahasiwa lainnya dapat diajak dan membicarakan bersama persolan pendidikan di Sukabumi. Kalau bukan orang Sukabumi siapa lagi yang mau peduli? Kan enggak mungkin mahasiswa Yugoslavia ujug-ujug mau peduli pendidikan Sukabumi. Kepedulian kondisi pendidikan Sukabumi harus dari orang Sukabumi, orang-orang berpendidikan tinggi yang mengaku sebagai mahasiswa.

Diskusi Bersama Aliansi BEM Sukabumi, Gerakan Indonesia Mengajar, dan Sabumi Volunteer Membahas pendidikan pelosok Sukabumi

Diskusi yang dipimpin oleh Daniel sang penulis puisi handal dari Sukabumi berjalan mengalir begitu saja. Beberapa pertanyaan pun dilontarkan. Misalnya, Kok kegiatan cuma di pelosok saja? Bagaimana membuat perpustakaan baru? Ada juga yang cerita tentang pengalaman tantangan memasuki daerah pelosok Sukabumi. Ipong bercerita kalau memasuki daerah pelosok tidak asal saja.

Ada strategi dan pendekatan yang dilakukan agar diterima oleh masyarakat lokal di pelosok Sukabumi. Pasalnya Ipong dan tim Sabumi Volunteer pernah dikepung orang sekampung. Dikira culik anak. Wajah seram dan suram membuat masyarakat tak percaya kepada orang baru yang datang ke kampung mereka. Karena tahu ada risiko tersebut, strategi yang dilakukan adalah selalu membawa Iqro, Al quran setiap memasuki lokasi baru di pelosok Sukabumi.

Setelah itu masyarakat setempat sadar kalau Sabumi Volunteer tidak berniat jahat masuk ke kampung mereka. Pemilik Sunda Coffee Dede Rizal akhirnya ikut dalam diskusi juga. Daniel sang pembawa acara menyakan perihal Sekolah Gratis Kampung Pangkalan yang digagas oleh Dede Rizal. Kang Dede panggilan akrabnya menceritakan bahwa kepeduliannya karena melihat jumlah anak-anak kampung Pangkalan yang berpartisipasi di sekolah itu rendah.  Anak yang masuk TK saja cuma dua orang tiga atau empat tahun yang lalu.

Kesadaran akan pendidikan termasuk rendah

Karena tahu dan peduli dengan kondisi tersebut. Dede Rizal pun berinisiatif mengumpulkan relawan dan mengajak diskusi tentang kondisi pendidikan di Kampung Pangkalan. Akhirnya Sebuah sekolah TK berdiri dengan dana dari donasi dan swadaya masyarakat. Saat ini, jumlah anak yang TK itu sudah 35 orang. Anak-anak tersebut sudah masuk SD saat ini. Orang tua di kampung Pangkalan pun semakin peduli kondisi pendidikan di sana.

Diskusi pun tak terasa memakan waktu yang panjang. Hampir dua jam permbicaraan mengalir ke sana dan ke mari. Sebagai penutup Ipong, Ikin, dan Dede Rizal mengajak mahasiswa lebih peduli dengan pendidikan di Sukabumi. Jangan sampai sudah berpendidikan tinggi dan menjadi mahasiswa ilmunya malah tak terpakai ke depannya. Buat apa sekolah tinggi, kalau tak punya rasa peduli!

Baca juga : Kaum Pemuda Harus Perhatian Kepada Anak Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *