Anak-Anak Perempuan Korban Pemerkosaan Yang Tersiksa Psikologis dan Mati Tak Berdaya

Anak-Anak Perempuan Korban Pemerkosaan Yang Tersiksa Psikologis dan Mati Tak Berdaya

Seorang anak perempuan di Denpasar Selatan, Bali terpaksa menikah setelah menjadi menjadi korban pemerkosaan dan hamil. Dunia semakin tak ramah baginya, mertua yang tak lain pamannya sendiri memperkosa dirinya setelah melahirkan. Apa yang terjadi pada korban tersebut? Dia mengalami trauma, merasa marah sekaligus takut terhadap kekerasan seksual yang terjadi. Pernikahan antara pelaku dan korban yang dinilai dapat menyelesaikan masalah oleh keluarga, justru membuat penderitaan semakin panjang.

Di Kepulauan Mentawai, Sumater Barat, seorang anak perempuan diperkosa oleh seorang mantan pendeta. Ia mengalami depresi, minum racun dan meninggal dunia. Padahal, pelaku mengambilnya dari yayasan panti asuhan di Padang dengan maksud menjadi anak asuh. Tetapi malah menjadi pemangsa dan menjadi pelaku yang membuat anak perempuan tersebut tak sanggup menghadapi dunia yang begitu kejam padanya.

Kedua kejadian tersebut membuktikan kasus pemerkosaan terhadap anak justru dilakukan orang terdekat. Jumlah kasusnya termasuk tinggi. Berdasarkan Laporan Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2019, dari Komnas Perempuan bahwa kasus Kekerasan Terhadap Anak Perempuan Mengalami lonjakan kenaikan menjadi 2.341 kasus. Dibandingkan tahun sebelumnya berjumlah 1.417 kasus.

Kenaikan kasus kekerasanterhadap anak meningkat sebanyak 65 persen. Kekerasan inses terjadi 770 kasus, 571 kasus kekerasan seksual, dan 536 kasus kekerasan fisik. Angka tersebut menunjukkan kalau perempuan mengalami kondisi kehidupan tidak aman sejak usia anak di ranah rumah tangga dan kekerasan dilakukan orang terdekat. Seperti yang terjadi dari kasus di Denpasar Selatan dan Kepulauan Mentawai yang dilakukan oleh orang terdekat.

Negara Tidak Mampu Melindungi Anak-Anak Perempuan Korban Pemerkosaan

Semakin tingginya angka kekerasan terhadap anak perempuan yang terjadi di ranah rumah tangga dan dilakukan orang terdekat selayaknya menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan perlindungan. Apesnya kekerasan terhadap perempuan belum dianggap kasus yang penting. Padahal, angka yang dilaporkan sangat tinggi dan terjadi peningkatan kasus setiap tahun.

Lalu, kabar tak menyenangkan dari Dewan Perwakilan Rakyat  yang mengusulkan Rancangan Undang Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dicabut dalam Prolegnas 2020 oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Padahal, terdapat sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tercakup dalam yang dapat melindungi kerban. Tindak pidana tersebut antara lain: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Selama ini, dinilai tidak ada pengaturan yang komprehensif tentang sembilan jenis tindak pidana tersebut. Sehingga RUU PKS sangat penting untuk segera disahkan. Bukannya malah diusulkan untuk ditarik dari Prolegnas oleh DPR dengan alasan pembahasannya agak sulit. Bukannya para anggota dewan dipilih untuk mewakili dan menyelesaikan kerumitan hukum yang terjadi di negeri ini.

RUU PKS justru dapat membantu para korban pemerkosaan, karena memiliki landasan normatif untuk penegakan hukum yang dialami oleh korban. Kecuali, negara ini memang tidak ingin melakukan pemenuhan hak keadilan terhadap korban kekerasan seksual, dan RUU tersebut dikesampingkan dan tidak dianggap penting.

Baca juga: Bagaimana Jika Anak Perempuan yang Meninggal Akibat Diperkosa Di Tangerang itu Anak Anda?

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *