Sejarah Pendidikan di Indonesia : Demi Kepentingan Politik Pengetahuan Penguasa

Sejarah Pendidikan di Indonesia sejatinya berkembang melalui bermacam proses demi kepentingan politik penguasa. Mulanya, lembaga yang bertanggung jawab untuk menyebarkan pengetahuan adalah gereja dan keluarga. Belanda sebagai penguasa di Indonesia sebelum era kemerdekaan mengembangkan model pendidikan untuk kepentingan mereka. Bukan untuk kemajuan anak-anak jajahan mereka.
Sejarah Pendidikan di Indonesia Dilatarbelakangi Pertimbangan Ekonomi dan Politik Penjajah Belanda
Dari sebuah pernyataan Brugmans, pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendididika dirancang tidak untuk setara, sengaja dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan kelas sosial. Tidak ditujukan untuk anak-anak jajahan. Kaum penguasa Belanda mengembangkan pendidikan yang berkualitas untuk anak-anak mereka. Sedangkan, anak-anak kaum pribumi dibuat dengan mutu yang rendah.
Kepentingan pendidikan bagi pribumi adalah untuk meningkatkan mutu tenaga kerja murah. Sarana pendidikannya dibuat alakadarnya dengan biaya yang murah. Pertimbangannya kas negara tergerus berbagai masalah peperangan. Keuangan Belanda mengalami kesulitan karena Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda dan Belgia (1830-1839).
Biaya yang dikeluarkan sangat besar dan menelan banyak korban. Belanda harus bersiasat menyetabilkan keuangan Negara. Untuk itu, pengelolaan sumber daya alam dilakukan dengan tanam paksa, agar keuntungan lebih maksimal. Tanam paksa itu dikenal dengan cultuur stelsel (Nasution, 1987:11). Sistem penanaman kopi hingga panen dilakukan seefisien mungkin dengan membayar tenaga kerja murah. Tanah dikuasai, hasil panen dibeli murah, dan petani memperoleh keuntungan sangat rendah.
Tanam paksa dinilai ampuh untuk menambah kas negara penguasa. Para Petani dijadikan sapi perahan dan harus membayar pungutan resmi untuk biaya roda pemerintahan dan memenuhi gaji pejabat daerah (Mubyarto, 1987:24). Praktik tanam paksa masa tahun 1830-1870 (di Yogyakarta, Solo, dan Priangan sampai 1918) merupakan  saat penderitaan tiada tara dan sejarah kelam bagi petani.
Politik etis Demi Kepentingan Ekonomi Penguasa Belanda
Untuk melancarkan jalannya pengembangan pendidikan demi ketersediaan tenaga kerja murah, pemerintah berupaya bahasa Belanda diajarkan kepada pribumi. Alasannya agar komunikasi lebih mudah. Bahasa Belanda pun sebagai syarat ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Pengawai yang ditunjuk berasal dari keturunan kaum ningrat yang berkuasa secara tradisional. Sehingga Belanda tidak sulit untuk memerintah merek. Sehingga, Tanam paksa berjalan lebih efektif dengan perintah dari anak penguasa lokal.
Masyarakat Awam akan mengukuti perintah para ningrat. Pembentukan pola kehidupan dari lapisan-lapisan sosial dari golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi. Golongan pribumi dibagi lagi menjadi bangsawan dan orang kebanyakan. Seiring pengaruh politik di negeri asalnya, Penguasa yang menjalankan roda pemerintahan di Hindia Belanda diminta bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia. Lalu, lahirlah politik etis yang dipengaruhi kebangkitan Asia dengan munculnya Jepang sebagai Negara modern penakluk Rusia dan perang dunia pertama (Nasution, 1987:17).
Pada kenyataannya, politik etis bukan demi tujuan mengembangkan pendidikan kaum pribumi. Melainkan bermotif ekonomi, agar muncul kaum terdidik yang lebih mendukung pengembangan hasil sumberdaya di Hindia Belanda. Pemerintah penguasa mencanangkan pengembangkan irigasi, transmigrasi, dan pendidikan sebagai siasat untuk meraup keuntungan. Irigasi dikembangkan demi hasil panen yang lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja di berbagai perkebunan.
Pendidikan ditujukan untuk menyediakan kaum pribumi agar lebih mampu berkerja dengan pengetahuan dengan bayaran yang murah. Karena pendidikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka hanya kaum ningrat saja yang dapat memasukinya. Orang miskin tidak mampu memasuki lembaga pendidikan. Sehingga, mereka tidak memiliki pengetahuan seperti kaum terdidik dan dijadikan tenaga kerja murah.
Ciri Sistem Pengajaran Belanda dalam Sejarah Pendidikan di Indonesia
Untuk memahami Sejarah Pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan, Maka harus memahami ciri-ciri sistem pendidikan Pemerintah Hindia Belanda. Adapun ciri sistem pendidikan saat itu, sebagai berikut:
- Pertama, gradualisme dalam pegembangan pependidikan bagi anak-anak Indonesia.
Belanda membiarkan kaum pribumi tidak berkembang. Kualitas manusianya hampir sama dengan waktu Belanda menginjakkan pertama kali di tanah jajahan mereka. Jadi, pendidikan bagi kaum jajahan tidak penting bagi mereka.
- Kedua, dualisme yaitu dua sistem pemerintahan dan hukum yang berbeda antara peribumi dan orang Belanda. Pendidikan dibuat terpisah. Anak-anak Indonesia menempuh pendidikan dengan kualitas tingkat terbawah.
- Ketiga, kontrol yang sangat kuat. Pemerintah Belanda dikontrol Gubernur Jenderal yang menjalankan tugas pemerintahan atas nama Raja Belanda. Sehingga, pengaturan pengembangan lembaga pendidikan atas persetujuan gubernur jendral.
- Keempat, Pendidikan dikembangkan demi merekrut pegawai. Belanda membutuhkan pegawai perkebunan yang memiliki kemampuan baca tulis.
- Kelima, prinsip konkordasi. Anak dari keturunan Belanda menikmati pendidikan dengan standar dari negeri Belanda. Sedangkan, anak Indonesia tidak memperoleh hak yang sama.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa dengan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan Sejak tahun 1907. Tipe sekolah desa dinilai cocok oleh Gubernur Jendral Van Heutz sebagai sarana pendidikan yang murah dan tidak mengasingkan masyarakat dari kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Guru sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua Sejarah pendidikan di Indonesia pada jaman Belanda merupakan rangkaian cerita yang kelam. Politik etis menjadi tidak etis, karena dibuat hanya untuk kepentingan Belanda.
Sejarah Pendidikan di Indonesa Paska Kemerdekaan
Setelah masa kemerdekaan, Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementerian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan untuk melakukan pembaharuan di bidang pendidikan (Mestoko, 1985:145). Program pertama pemerintah adalah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Namun memiliki banyak kendala, antara lain sumber daya manusia, gedung sekolah dan guru. Program tersebut menunjukkan kemajuan, denan berkurangnya angka buta huruf menjadi sekitar 32,21 juta (kurang lebih 40%) pada tahun 1971.
Kendala utama dunia pendidikan sejak dulu adalah akses dari anak-anak rumah tangga kurang mampu. Mereka menempuh pendidikan dengan kualitas rendah dan dijadikan pekerja bergaji rendah. Hingga kini masalah Pemerintah adalah pemerataan pendidikan. Slogan pendidikan untuk semua belum tercapai. Meski, biaya sekolah digratiskan. Ada begitu banyak anak-anak yang masih putus sekolah dan tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.